Tuesday 23 April 2013

Hak Perempuan Dalam Pemilu




1.      Pendahuluan

Pemilihan Umum bukan sekedar ritual demokrasi yang dilakukan secara berkala setiap 5 tahun sekali untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat atau pemimpin pemerintahan pada tingkat nasional dan lokal. Pemilihan Umum merupakan sistem penyelenggaraan Negara yang sesuai dengan amanat konstitusi yang menentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Artinya rakyatlah yang memiliki kekuasaan yang tertinggi untuk menentukan kebijakan negara, untuk menentukan kepemimpinan politik yang akan mengendalikan lembaga pemerintahan (eksekutif) dan lembaga perwakilan rakyat.

Pemilihan Umum sebagai system penyelenggaraan Negara yang demokrasi menjadi urusan setiap warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan. Demokrasi mempersyaratkan diperkuatnya dukungan terhadap nilai-nilai persamaan, kebebasan dan persaingan yang fair dalam praktek penyelenggaraan Negara. Ketentuan konstitusi yang menjamin persamaan, kebebasan dan persaingan demokratis untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan harus diwujudkan secara nyata. UU No, 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 secara lebih konkrit menentukan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memililh dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.   

Hak untuk dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak merupakan perintah UU yang harus dipatuhi. Artinya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilu wajib hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak sipil dan politik. Hambatan bagi partisipasi perempuan dalam kehidupan politik tidak boleh ditolerir, karena dapat menghambat pertumbuhan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dan mempersulit perkembangan potensi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Sementara itu kaum perempuan perlu mengkonsolidasikan potensinya, menggalang dukungan untuk meraih simpati dan secara sistematis menempa diri agar memiliki kapasitas, kapabilitas serta akseptabilitas untuk memainkan peranan lebih besar dalam kancah politik  demi kesejahteraan seluruh rakyat. Urusan politik dalam Negara demokratis adalah urusan laki-laki dalam Negara demokratis adalah urusan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama untuk membangun bangsanya.

Sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia telah mencatat nama-nama wanita yang turut andil dalam aktivitas politik. Perjuangan fisik melawan mengabadikan nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Yolanda Maramis dsb. Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA Kartini dan Dewi Sartika, telah terpahat nama-nama mereka sebagai orang yang memperjuangkan hak hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan pria. Era Orde Baru telah melempangkan jalan bagi para wanita untuk aktif berkiprah dalam segala aspek kehidupan termasuk politk. Berbagai bentuk perjuangan politik telah digeluti para wanita, seperti di parlemen, kabinet, partai politik, LSM dan sebagainya.

Salah satu upaya untuk peningkatan keterwakilan perempuan adalah adanya peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan jaminan terhadap proses politik yang memastikan peningkatan keterwakilan perempuan pada tingkat yang diharapkan. Undang-Undang Partai Politik dan Pemilu adalah salah satu indikator yang sangat penting untuk menjamin peningkatan keterwakilan perempuan yang duduk di DPR. Undang-Undang (UU) Partai Politik dan Pemilu menjadi ukuran untuk melihat bagaimana respon negara terhadap indikator kesetaraan gender. Undang-Undang Pemilu dapat memberikan jaminan bagi perempuan untuk dapat mengikuti proses pencalonan sampai terpilihnya dalam pemilu.

Di Indonesia, sejak diberlakukannya pasal 65 Undang-Undang Pemilu No.12 Tahun 2003 tentang kuota perempuan 30% pada pemilu 2004 secara terus-menerus dibutuhkan penguatan terhadap UU tersebut dan evaluasi di setiap Pemilihan Umum (pemilu). UU Pemilu ini telah diubah menjadi UU No.8 Tahun 2008, dengan mencantumkan nomor urut 1 sampai 3 harus ada calon perempuan. Sementara UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum mencantumkan masalah kuota secara tegas telah diperbaiki dengan UU No.2 Tahun 2008. 

Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut maka dalam pemilu 2004 dan 2009 terlihat peningkatan yang signifikan pada jumlah calon legislatif (caleg) perempuan, namun belum secara otomatis memberikan kesempatan kepada perempuan untuk terpilih dalam pemilu. Peningkatan jumlah keterwakilan perempuan menjadi sangat penting baik dalam kerangka peningkatan the politics of presence maupun dalam kerangka the politic of ideas (kebijakan kesejahteraan Ibu dan Anak serta keluarga) dari kepentingan perempuan sebagai mayoritas penduduk suatu negara.

2. Hak Politik Perempuan Dalam Pemilu

Masyarakat Indonesia di seluruh penjuru akan memberikan suara dalam pemilihan umum (Pemilu) presiden dan anggota legislatif (baca: wakil rakyat). Biasanya pesta rakyat disemarakkan dengan hadirnya partai politik (parpol) sebagai ciri khas demokrasi untuk kendaraan bagi setiap calon legislatif (caleg) yang ingin menjadi pelayan masyarakat. Suatu kewajiban bagi parpol untuk memenuhi syarat peserta pemilu yaitu menghadirkan caleg yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat. Keterwakilan perempuan dalam caleg merupakan salah satu syarat utama. Sesuai dengan konstitusi keterwakilan perempuan menjadi salah satu amanat konstitusi yang harus dilaksanakan. Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 mengatur setiap parpol menyertakan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dari bakal calon legislatif.

Ketentuan ini membuat parpol tergopoh-gopoh mencari kader perempuan untuk di jadikan caleg di masing-masing daerah pemilihan apalagi dalam waktu yang singkat yaitu bulan April parpol harus memberikan Daftar Calon Sementara (DCS). KPU telah mengumumkan partai politik peserta pemilu tahun 2014. Dengan demikian, kesempatan bagi parpol untuk mengajukan caleg peserta pemilu 2014. Kebijakan khusus terkait keterwakilan perempuan setidaknya 30 persen.

Tahun 2004 diatur supaya parpol mengakomodasi 30 persen perempuan dalam kepengurusan tingkat propinsi dan kabupaten kota serta mencantumkannya dalam AD/ART. Kenyataannya dalam pelaksanaan belum tercapai. Kurangnya keterwakilan perempuan merupakan ketidakmampuan parpol menjadi pilar demokrasi. Daftar bakal caleg mesti memuat sedikitnya 30 persen keterwakilan perempuan.

Perekrutan calon bukanlah hal gampang, mengingat banyaknya tugas yang harus dipikul apabila menjadi wakil rakyat. Oleh karena itu, masing-masing parpol berlomba-lomba untuk memenuhi kriteria tersebut dengan merekrut caleg yang akan dijagokan pada pesta demokrasi 2014. Apalagi memenuhi kuota 30 persen perempuan untuk dicalonkan parpol bukan pekerjaan mudah. Perekrutan tersebut tidak bisa dipandang sepele. Terbukti pesta rakyat tahun 2009 tidak berhasil merangkul kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya di Senayan. Maka, pesta rakyat tahun 2014 merupakan moment penting untuk memenuhi kuota tersebut dengan merekrut perempuan. Sebenarnya kehadiran UU No.8 Tahun 2008 memiliki segi positif bagi perempuan karena adanya paksaan bagi parpol memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan. Dalam perspektif gender, kaum perempuan saat ini bisa bersenang hati lantaran diberi kesempatan untuk masuk parlemen. Namun demikian, dalam prakteknya di daerah tertentu, parpol tidak gampang merekrut perempuan yang bisa dijadikan caleg.

3.      Pemenuhan Kuota Caleg Perempuan

Meskipun konstitusi tidak mengatur secara legal sanksi bagi parpol yang tidak melaksanakan UU tersebut. Tentu nilai positif bagi proses demokrasi apabila parpol yang tidak memenuhi 30 persen perempuan dalam pencalegan tidak diperbolehkan ikut pemilihan di daerah pemilihan (dapil) bersangkutan. Sanksi ini lebih ringan dibandingkan dengan tidak diperbolehkan ikut pencalegan. Terpenuhinya kuota 30 persen perempuan sebagai bukti kemajuan berdemokrasi.

Pastinya sanksi secara moral tentu lebih kuat. Adanya sanksi bagi parpol yang tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam kepengurusan parpol atau pencalegan akan menguatkan pilar demokrasi. Pemenuhan kuota 30 persen perempuan selain bukti demokratisnya pemilu juga bentuk penghormatan terhadap hak-hak perempuan dan prinsip kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam politik. Persoalannya, partisipasi perempuan dalam parpol masih rendah. Hal ini dikarenakan belum adanya platform partai yang secara konkrit membela kepentingan perempuan. Banyak parpol mencoba mengusung perspektif gender hanya untuk mempertahankan eksistensi partainya ditengah derasnya tuntutan aktivis perempuan yang didukung media massa. (Kompas, 29 November 2012)

Parpol diminta serius memberi dukungan untuk merekrut caleg perempuan. Selama ini pemenuhan 30 persen caleg perempuan masih sebatas ritualitas UU kalau benar dilaksanakan. Pemenuhan kuota tersebut belum didasari secara sadar bahwa hak-hak perempuan harus diperjuangkan sebagai kelanjutan dari perjuangan Kartini. Tidak asing ketika caleg perempuan ditempatkan pada posisi nomor urut yang tidak memberikan harapan. Artinya, perempuan dijadikan sebatas slogan untuk meraup suara bagi parpol. Akhirnya, caleg perempuan tidak lebih sebagai pajangan. Kerja keras parpol belum terlihat untuk merangkul kaum perempuan dalam memperjuangkan nasibnya.

4. Menghadirkan Caleg Perempuan yang berkualitas

Penting diketahui dibalik peraturan tersebut, kehadiran perempuan dilegislatif tidak hanya memenuhi konstitusi tetapi caleg perempuan harus benar-benar berkualitas dan berintegritas untuk memberikan masukan ketika bicara soal perempuan dalam perumusan undang-undang. Lemahnya penjaringan perempuan dalam pencalegan juga dipengaruhi oleh lemahnya KPU sebagai salah satu lembaga yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan UU. Buktinya, KPU terkadang tidak bisa menilai kualitas caleg perempuan. Masuknya caleg perempuan tanpa seleksi akan berakibat fatal bagi demokrasi. Artinya, demokrasi yangmenjamin adanya kebebasan sesuai dengan konstitusi.

Jika caleg perempuan tidak berkualitas sudah pasti perannya di gedung Senayan tidak akan menghasilkan perubahan bagi perempuan. Guna mencapai kuota 30 persen perempuan, acapkali parpol disibukkan dengan berbagai kebijakan yang lebih longgar tanpa kritis untuk merangkul perempuan sebagai caleg yang dijagokan. Terkadang segala cara dihalalkan tanpa pertimbangan yang matang. Parpol masih menomorsatukan kader partai juga mendatangkan caleg dari berbagai elemen masyarakat. Termasuk dari dunia olahraga, kampus, seniman, artis dan lembaga lain yang dapat mendobrak suara pemilihan legislatif mendatang. Untuk memenuhi keterwakilan perempuan dalam pemilu 2014 dibutuhkan gebrakan. Melaksanakan pendidikan politik merupakan pendekatan yang paling efektif. Pendidikan politik dan pengembangan kapasitas kader perempuan. Jika keterwakilan perempuan dalam pemilu 2014 terpenuhi tentu akan berdampak positif bagi dunia perpolitikan di negeri ini.

Sebaiknya sebelum mengumumkan daftar caleg dari parpol, seharusnya KPU melakukan berbagai verifikasi terhadap calon yang akan diajukan sebagai peserta caleg. Artinya, KPU perlu melakukan penjaringan terhadap calon. Setiap calon harus benar-benar bersih dan tidak pernah bermasalah dengan hukum. Dibutuhkan pemahaman bersama bahwa pemilihan caleg bukan sekedar rutinitas negara melainkan untuk pelaksanaan demokrasi. Bagaimanapun juga, kehadiran perempuan tidak monoton demi kekuasaan tapi semata-mata untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di parlemen. Perekrutan perempuan sebagai caleg meski taat asas (prosedur demokrasi). Artinya, caleg perempuan yang direkrut parpol harus diseleksi. Apabila caleg yang direkrut memiliki track record yang buruk tentu akan menciderai demokrasi.

Untuk mendapatkan caleg perempuan berkualitas dibutuhkan kerjasama antar semua elemen (masyarakat, partai politik, elit politik dan KPU) untuk mewujudkan terlaksananya amanat konstitusi. Meskipun partai lebih mengedepankan kader sebagai caleg yang dijagokan, tetap dilakukan evaluasi. Jangan sampai caleg yang diusulkan partai untuk menjadi wakil rakyat tidak berpihak kepada rakyat. Harapannya, caleg yang dipromosikan dan dijagokan untuk publik bukan orang yang pernah bermasalah dengan hukum, tetapi memiliki karakter dan berjiwa negarawan.

Apapun tantangannya, tidak ada alasan bagi parpol untuk tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam pencalegan. Publik berharap demokrasi yang dikenal dunia tidak hanya sekedar demokrasi prosedural.

Namun demokrasi yang benar-benar menghayati nilai-nilai Pancasila. Alangkah meriahnya apabila setiap pesta demokrasi diwarnai dengan adanya keseimbangan hak antara laki-laki dan perempuan dalam parpol (parlemen). Dengan demikian, benarlah bahwa demokrasi yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia merupakan demokrasi substansial sebagai perwujudan kesetaraan gender. 

5.      Peran Perempuan Dalam Legislatif

Salah satu hal yang penting dalam Pemilu adalah keterwakilan perempuan dalam politik. Pada masa lalu, peran perempuan dalam politik sangatlah dibatasi. Namun seiring perkembangan jaman, peran serta perempuan dalam politik kemudian menjadi sesuatu yang penting dan tidak bisa dihindarkan. Mengingat pentingnya peran serta perempuan dalam politik maka akhirnya disusunlah sebuah peraturan perundangan yang melindungi hak-hak perempuan dalam politik.

Upaya nyata untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundang-undangan telah mengatur kuota 30% perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pemilu Legislatif) serta UU  Nomor  2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam  politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.

Disinilah peran Komisi Pemilihan Umum untuk memberikan informasi dan sosialisasi mengenai hak dan peran serta perempuan dalam pemilu. Dengan adanya sosialisasi ini maka diharapkan adanya peningkatan peran serta aktif perempuan dalam pemilu.
Komisi Pemilihan Umum aktif  mengadakan kegiatan sosialisasi bertujuan untuk diadakan kegiatan Sosialisasi Peran Serta Perempuan dalam Pemilu adalah :
  1. Memberikan  informasi yang benar mengenai hak perempuan dalam politik sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
  2. Diharapkan sosialisasi ini dapat meningkatkan peran serta perempuan dalam politik khususnya pemilu sehingga di masa yang akan datang keterwakilan perempuan dalam pemilu dapat mencapai kuota 30 % seperti yang diharapkan.  
Informasi diharapkan bagaimana sebetulnya peranan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan sebetulnya dapat berperan lebih aktif dalam segala hal apalagi di bidang politik.  Peran perempuan di bidang  politik masih belum terlalu terlihat menonjol. Untuk itulah kita harus  memberikan dorongan dan semangat untuk para perempuan  agar lebih aktif lagi dalam berpolitik.

Komisi Pemilihan Umum  memberikan sosialisasi  adalah sebuah proses penyampaian informasi mengenai hak-hak kaum perempuan dalam Pemilu. Oleh karena itulah informasi yang disampaikan haruslah mampu memberikan pengetahuan bagi perempuan. Sosialisasi ini

kemudian menjadi penting ketika keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif  tahun 2009 masih jauh dari yang diharapkan. Hanya ada sedikit sekali wakil perempuan yang duduk sebagai wakil rakyat padahal diharapkan dengan lebih banyak wakil perempuan yang duduk di Legislatif pada akhirnya diharapkan mampu menyumbangkan pemikirannya bagi kemajuan kaum perempuan itu sendiri.

Atas dasar berbagai hal tersebut, pentingnya terus melakukan pemberdayaan politik perempuan menurut karena ada kecenderungan politik pasar menjadi lebih determinan. Negara dan perempuan bisa dipisah tapi politik dan perempuan tidak bisa dipisah, bahkan yang kerap terjadi adalah politisasi perempuan.

Untuk itu dimanapun kita berkiprah, disitu pula kita harus menyadari bahwa dalam memandang setiap masalah harus dipandang secara itegral, secara sistem. Kita pun tidak perlu terjebak pada budaya politik yang ada yaitu kita tidak perlu terpaku pada perjuangan untuk menduduki posisi tertentu (penentu kebijakan) dalam menyuarakan aspirasi perempuan. Dengan catatan para wanita punya visi tertentu yang melatar belakangi terlibatnya mereka dalam aktifitas politik.

Referensi:
www.analisadaily.com/news/2013/7517/1365474144/
wri.or.id/.../Diskusi%20Kamisan?.../...
http://wri.or.id/id/pengembangan%20kapasitas/Diskusi%20Kamisan?q=id/pengembangan%20kapasitas%20kamisan/Peningkatan%20Keterwakilan%20Perempuan%20Pada%20Pemilu%202014

No comments:

Post a Comment