1. Pendahuluan
Pemilihan Umum
bukan sekedar ritual demokrasi yang dilakukan secara berkala setiap 5 tahun sekali untuk
memilih anggota lembaga perwakilan rakyat atau pemimpin pemerintahan pada
tingkat nasional dan lokal. Pemilihan Umum merupakan sistem penyelenggaraan
Negara yang sesuai dengan amanat konstitusi yang menentukan bahwa kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Artinya rakyatlah yang
memiliki kekuasaan yang tertinggi untuk menentukan kebijakan negara, untuk
menentukan kepemimpinan politik yang akan mengendalikan lembaga pemerintahan
(eksekutif) dan lembaga perwakilan rakyat.
Pemilihan
Umum sebagai system penyelenggaraan Negara yang demokrasi menjadi urusan setiap
warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan. Demokrasi mempersyaratkan
diperkuatnya dukungan terhadap nilai-nilai persamaan, kebebasan dan persaingan
yang fair dalam praktek penyelenggaraan Negara. Ketentuan konstitusi yang
menjamin persamaan, kebebasan dan persaingan demokratis untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan harus diwujudkan secara nyata. UU No,
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 secara lebih konkrit
menentukan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memililh dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang
langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Hak untuk
dipilih dan memilih berdasarkan persamaan hak merupakan perintah UU yang harus
dipatuhi. Artinya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilu wajib
hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak sipil dan
politik. Hambatan bagi partisipasi perempuan dalam kehidupan politik tidak
boleh ditolerir, karena dapat menghambat pertumbuhan kesejahteraan keluarga dan
masyarakat dan mempersulit perkembangan potensi perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Sementara itu
kaum perempuan perlu mengkonsolidasikan potensinya, menggalang dukungan untuk
meraih simpati dan secara sistematis menempa diri agar memiliki kapasitas,
kapabilitas serta akseptabilitas untuk memainkan peranan lebih besar dalam
kancah politik demi kesejahteraan
seluruh rakyat. Urusan politik dalam Negara demokratis adalah urusan laki-laki
dalam Negara demokratis adalah urusan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan
perempuan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama untuk membangun bangsanya.
Sejarah
perjuangan kaum wanita Indonesia telah mencatat nama-nama wanita yang turut
andil dalam aktivitas politik. Perjuangan fisik melawan mengabadikan nama-nama
seperti Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Yolanda Maramis dsb. Dalam pergerakan
nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA Kartini dan Dewi
Sartika, telah terpahat nama-nama mereka sebagai orang yang memperjuangkan hak
hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan pria. Era Orde Baru
telah melempangkan jalan bagi para wanita untuk aktif berkiprah dalam segala
aspek kehidupan termasuk politk. Berbagai bentuk perjuangan politik telah
digeluti para wanita, seperti di parlemen, kabinet, partai politik, LSM dan
sebagainya.
Salah satu upaya
untuk peningkatan keterwakilan perempuan adalah adanya peraturan
perundang-undangan yang dapat memberikan jaminan terhadap proses politik yang
memastikan peningkatan keterwakilan perempuan pada tingkat yang diharapkan.
Undang-Undang Partai Politik dan Pemilu adalah salah satu indikator yang sangat
penting untuk menjamin peningkatan keterwakilan perempuan yang duduk di DPR.
Undang-Undang (UU) Partai Politik dan Pemilu menjadi ukuran untuk melihat
bagaimana respon negara terhadap indikator kesetaraan gender. Undang-Undang
Pemilu dapat memberikan jaminan bagi perempuan untuk dapat mengikuti proses
pencalonan sampai terpilihnya dalam pemilu.
Di Indonesia, sejak diberlakukannya pasal 65
Undang-Undang Pemilu No.12 Tahun 2003 tentang kuota perempuan 30% pada pemilu
2004 secara terus-menerus dibutuhkan penguatan terhadap UU tersebut dan
evaluasi di setiap Pemilihan Umum (pemilu). UU Pemilu ini telah diubah menjadi
UU No.8 Tahun 2008, dengan mencantumkan nomor urut 1 sampai 3 harus ada calon
perempuan. Sementara UU No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum
mencantumkan masalah kuota secara tegas telah diperbaiki dengan UU No.2 Tahun
2008.
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut maka
dalam pemilu 2004 dan 2009 terlihat peningkatan yang signifikan pada jumlah
calon legislatif (caleg) perempuan, namun belum secara otomatis memberikan
kesempatan kepada perempuan untuk terpilih dalam pemilu. Peningkatan jumlah
keterwakilan perempuan menjadi sangat penting baik dalam kerangka peningkatan the
politics of presence maupun dalam kerangka the politic of ideas
(kebijakan kesejahteraan Ibu dan Anak serta keluarga) dari kepentingan
perempuan sebagai mayoritas penduduk suatu negara.
Masyarakat
Indonesia di seluruh penjuru akan memberikan suara dalam pemilihan umum
(Pemilu) presiden dan anggota legislatif (baca: wakil rakyat). Biasanya pesta
rakyat disemarakkan dengan hadirnya partai politik (parpol) sebagai ciri khas
demokrasi untuk kendaraan bagi setiap calon legislatif (caleg) yang ingin
menjadi pelayan masyarakat. Suatu kewajiban bagi parpol untuk memenuhi syarat
peserta pemilu yaitu menghadirkan caleg yang akan duduk di lembaga perwakilan
rakyat. Keterwakilan perempuan dalam caleg merupakan salah satu syarat utama.
Sesuai dengan konstitusi keterwakilan perempuan menjadi salah satu amanat
konstitusi yang harus dilaksanakan. Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 mengatur setiap
parpol menyertakan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dari bakal calon
legislatif.
Ketentuan
ini membuat parpol tergopoh-gopoh mencari kader perempuan untuk di jadikan
caleg di masing-masing daerah pemilihan apalagi dalam waktu yang singkat yaitu bulan
April parpol harus memberikan Daftar Calon Sementara (DCS). KPU telah
mengumumkan partai politik peserta pemilu tahun 2014. Dengan demikian,
kesempatan bagi parpol untuk mengajukan caleg peserta pemilu 2014. Kebijakan
khusus terkait keterwakilan perempuan setidaknya 30 persen.
Tahun
2004 diatur supaya parpol mengakomodasi 30 persen perempuan dalam kepengurusan
tingkat propinsi dan kabupaten kota serta mencantumkannya dalam AD/ART.
Kenyataannya dalam pelaksanaan belum tercapai. Kurangnya keterwakilan perempuan
merupakan ketidakmampuan parpol menjadi pilar demokrasi. Daftar bakal caleg
mesti memuat sedikitnya 30 persen keterwakilan perempuan.
Perekrutan
calon bukanlah hal gampang, mengingat banyaknya tugas yang harus dipikul
apabila menjadi wakil rakyat. Oleh karena itu, masing-masing parpol
berlomba-lomba untuk memenuhi kriteria tersebut dengan merekrut caleg yang akan
dijagokan pada pesta demokrasi 2014. Apalagi memenuhi kuota 30 persen perempuan
untuk dicalonkan parpol bukan pekerjaan mudah. Perekrutan tersebut tidak bisa
dipandang sepele. Terbukti pesta rakyat tahun 2009 tidak berhasil merangkul
kaum perempuan untuk memperjuangkan haknya di Senayan. Maka, pesta rakyat tahun
2014 merupakan moment penting untuk memenuhi kuota tersebut dengan merekrut perempuan.
Sebenarnya kehadiran UU No.8 Tahun 2008 memiliki segi positif bagi perempuan
karena adanya paksaan bagi parpol memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan.
Dalam perspektif gender, kaum perempuan saat ini bisa bersenang hati lantaran
diberi kesempatan untuk masuk parlemen. Namun demikian, dalam prakteknya di
daerah tertentu, parpol tidak gampang merekrut perempuan yang bisa dijadikan
caleg.
3.
Pemenuhan Kuota Caleg Perempuan
Meskipun
konstitusi tidak mengatur secara legal sanksi bagi parpol yang tidak
melaksanakan UU tersebut. Tentu nilai positif bagi proses demokrasi apabila
parpol yang tidak memenuhi 30 persen perempuan dalam pencalegan tidak
diperbolehkan ikut pemilihan di daerah pemilihan (dapil) bersangkutan. Sanksi
ini lebih ringan dibandingkan dengan tidak diperbolehkan ikut pencalegan.
Terpenuhinya kuota 30 persen perempuan sebagai bukti kemajuan berdemokrasi.
Pastinya
sanksi secara moral tentu lebih kuat. Adanya sanksi bagi parpol yang tidak
memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam kepengurusan parpol atau pencalegan
akan menguatkan pilar demokrasi. Pemenuhan kuota 30 persen perempuan selain
bukti demokratisnya pemilu juga bentuk penghormatan terhadap hak-hak perempuan
dan prinsip kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam politik. Persoalannya,
partisipasi perempuan dalam parpol masih rendah. Hal ini dikarenakan belum
adanya platform partai yang secara konkrit membela kepentingan perempuan.
Banyak parpol mencoba mengusung perspektif gender hanya untuk mempertahankan
eksistensi partainya ditengah derasnya tuntutan aktivis perempuan yang didukung
media massa. (Kompas, 29 November 2012)
Parpol
diminta serius memberi dukungan untuk merekrut caleg perempuan. Selama ini
pemenuhan 30 persen caleg perempuan masih sebatas ritualitas UU kalau benar
dilaksanakan. Pemenuhan kuota tersebut belum didasari secara sadar bahwa
hak-hak perempuan harus diperjuangkan sebagai kelanjutan dari perjuangan
Kartini. Tidak asing ketika caleg perempuan ditempatkan pada posisi nomor urut
yang tidak memberikan harapan. Artinya, perempuan dijadikan sebatas slogan
untuk meraup suara bagi parpol. Akhirnya, caleg perempuan tidak lebih sebagai
pajangan. Kerja keras parpol belum terlihat untuk merangkul kaum perempuan
dalam memperjuangkan nasibnya.
4. Menghadirkan Caleg Perempuan yang
berkualitas
Penting
diketahui dibalik peraturan tersebut, kehadiran perempuan dilegislatif tidak
hanya memenuhi konstitusi tetapi caleg perempuan harus benar-benar berkualitas
dan berintegritas untuk memberikan masukan ketika bicara soal perempuan dalam
perumusan undang-undang. Lemahnya penjaringan perempuan dalam pencalegan juga
dipengaruhi oleh lemahnya KPU sebagai salah satu lembaga yang bertugas untuk
mengawasi pelaksanaan UU. Buktinya, KPU terkadang tidak bisa menilai kualitas
caleg perempuan. Masuknya caleg perempuan tanpa seleksi akan berakibat fatal
bagi demokrasi. Artinya, demokrasi yangmenjamin adanya kebebasan sesuai dengan
konstitusi.
Jika
caleg perempuan tidak berkualitas sudah pasti perannya di gedung Senayan tidak
akan menghasilkan perubahan bagi perempuan. Guna mencapai kuota 30 persen
perempuan, acapkali parpol disibukkan dengan berbagai kebijakan yang lebih
longgar tanpa kritis untuk merangkul perempuan sebagai caleg yang dijagokan.
Terkadang segala cara dihalalkan tanpa pertimbangan yang matang. Parpol masih
menomorsatukan kader partai juga mendatangkan caleg dari berbagai elemen
masyarakat. Termasuk dari dunia olahraga, kampus, seniman, artis dan lembaga
lain yang dapat mendobrak suara pemilihan legislatif mendatang. Untuk memenuhi
keterwakilan perempuan dalam pemilu 2014 dibutuhkan gebrakan. Melaksanakan
pendidikan politik merupakan pendekatan yang paling efektif. Pendidikan politik
dan pengembangan kapasitas kader perempuan. Jika keterwakilan perempuan dalam
pemilu 2014 terpenuhi tentu akan berdampak positif bagi dunia perpolitikan di
negeri ini.
Sebaiknya
sebelum mengumumkan daftar caleg dari parpol, seharusnya KPU melakukan berbagai
verifikasi terhadap calon yang akan diajukan sebagai peserta caleg. Artinya,
KPU perlu melakukan penjaringan terhadap calon. Setiap calon harus benar-benar
bersih dan tidak pernah bermasalah dengan hukum. Dibutuhkan pemahaman bersama
bahwa pemilihan caleg bukan sekedar rutinitas negara melainkan untuk
pelaksanaan demokrasi. Bagaimanapun juga, kehadiran perempuan tidak monoton
demi kekuasaan tapi semata-mata untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di
parlemen. Perekrutan perempuan sebagai caleg meski taat asas (prosedur
demokrasi). Artinya, caleg perempuan yang direkrut parpol harus diseleksi.
Apabila caleg yang direkrut memiliki track record yang buruk tentu akan
menciderai demokrasi.
Untuk
mendapatkan caleg perempuan berkualitas dibutuhkan kerjasama antar semua elemen
(masyarakat, partai politik, elit politik dan KPU) untuk mewujudkan
terlaksananya amanat konstitusi. Meskipun partai lebih mengedepankan kader
sebagai caleg yang dijagokan, tetap dilakukan evaluasi. Jangan sampai caleg
yang diusulkan partai untuk menjadi wakil rakyat tidak berpihak kepada rakyat.
Harapannya, caleg yang dipromosikan dan dijagokan untuk publik bukan orang yang
pernah bermasalah dengan hukum, tetapi memiliki karakter dan berjiwa negarawan.
Apapun
tantangannya, tidak ada alasan bagi parpol untuk tidak memenuhi kuota 30 persen
perempuan dalam pencalegan. Publik berharap demokrasi yang dikenal dunia tidak
hanya sekedar demokrasi prosedural.
Namun
demokrasi yang benar-benar menghayati nilai-nilai Pancasila. Alangkah meriahnya
apabila setiap pesta demokrasi diwarnai dengan adanya keseimbangan hak antara
laki-laki dan perempuan dalam parpol (parlemen). Dengan demikian, benarlah
bahwa demokrasi yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia merupakan demokrasi
substansial sebagai perwujudan kesetaraan gender.
5.
Peran Perempuan Dalam
Legislatif
Salah satu hal yang penting dalam Pemilu adalah
keterwakilan perempuan dalam politik. Pada masa lalu, peran perempuan dalam politik
sangatlah dibatasi. Namun seiring perkembangan jaman, peran serta perempuan
dalam politik kemudian menjadi sesuatu yang penting dan tidak bisa dihindarkan.
Mengingat pentingnya peran serta perempuan dalam politik maka akhirnya
disusunlah sebuah peraturan perundangan yang melindungi hak-hak perempuan dalam
politik.
Upaya nyata untuk
mendorong keterwakilan perempuan dalam politik terus disuarakan, seperti pada
pelaksanaan pemilu 2009, peraturan perundang-undangan telah mengatur kuota 30%
perempuan bagi partai politik (parpol) dalam menempatkan calon anggota
legislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Pemilu Legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai
Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi
perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat.
Disinilah peran Komisi Pemilihan Umum untuk
memberikan informasi dan sosialisasi mengenai hak dan peran serta perempuan
dalam pemilu. Dengan adanya sosialisasi ini maka diharapkan adanya peningkatan
peran serta aktif perempuan dalam pemilu.
Komisi Pemilihan Umum aktif mengadakan kegiatan sosialisasi bertujuan
untuk diadakan kegiatan Sosialisasi Peran Serta Perempuan dalam Pemilu adalah :
- Memberikan informasi yang benar mengenai hak perempuan dalam politik sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
- Diharapkan sosialisasi ini dapat meningkatkan peran serta perempuan dalam politik khususnya pemilu sehingga di masa yang akan datang keterwakilan perempuan dalam pemilu dapat mencapai kuota 30 % seperti yang diharapkan.
Informasi diharapkan bagaimana sebetulnya peranan
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Perempuan sebetulnya dapat berperan
lebih aktif dalam segala hal apalagi di bidang politik. Peran perempuan di bidang politik masih belum terlalu terlihat menonjol.
Untuk itulah kita harus memberikan dorongan
dan semangat untuk para perempuan agar
lebih aktif lagi dalam berpolitik.
Komisi Pemilihan Umum memberikan sosialisasi adalah sebuah proses penyampaian informasi
mengenai hak-hak kaum perempuan dalam Pemilu. Oleh karena itulah informasi yang
disampaikan haruslah mampu memberikan pengetahuan bagi perempuan. Sosialisasi
ini
kemudian menjadi penting ketika keterwakilan
perempuan dalam pemilu legislatif tahun 2009 masih jauh dari yang
diharapkan. Hanya ada sedikit sekali wakil perempuan yang duduk sebagai wakil
rakyat padahal diharapkan dengan lebih banyak wakil perempuan yang duduk di
Legislatif pada akhirnya diharapkan mampu menyumbangkan pemikirannya bagi
kemajuan kaum perempuan itu sendiri.
Atas dasar berbagai hal tersebut, pentingnya
terus melakukan pemberdayaan politik perempuan menurut karena ada kecenderungan
politik pasar menjadi lebih determinan. Negara dan perempuan bisa dipisah tapi
politik dan perempuan tidak bisa dipisah, bahkan yang kerap terjadi adalah
politisasi perempuan.
Untuk itu dimanapun kita berkiprah, disitu pula kita
harus menyadari bahwa dalam memandang setiap masalah harus dipandang secara
itegral, secara sistem. Kita pun tidak perlu terjebak pada budaya politik yang
ada yaitu kita tidak perlu terpaku pada perjuangan untuk menduduki posisi
tertentu (penentu kebijakan) dalam menyuarakan aspirasi perempuan. Dengan
catatan para wanita punya visi tertentu yang melatar belakangi terlibatnya
mereka dalam aktifitas politik.
Referensi:
www.analisadaily.com/news/2013/7517/1365474144/
wri.or.id/.../Diskusi%20Kamisan?.../...
http://wri.or.id/id/pengembangan%20kapasitas/Diskusi%20Kamisan?q=id/pengembangan%20kapasitas%20kamisan/Peningkatan%20Keterwakilan%20Perempuan%20Pada%20Pemilu%202014